Naif dan jahat memang, vonis yang udah terketuk dalam benak gw.
Apakah sedemikiannya?
Beberapa hari ini, tak sengaja membuka beberapa media, n PILDUKAL menjadi salah satu ulasannya...
Pemikiran yang tertuang di artikel-artikel yang gw baca, ternyata agak berbeda dengan yang terpatri within me...
Seperti mendapat pencerahan, pertanyaan-pertanyaan counter justru bermunculan...
1. Kisah cerita banyak yang mirip, bahkan ada yang 'nyontek'
So? That's learning process! Nggak dalam sesaat seseorang bisa menciptakan karya jenius. Bahkan sesuatu yang dinilai mirip, sesungguhnya menawarkan nilai berbeda. Yang terpenting, hal ini jangan dijadikan budaya n pembenaran, tapi mesti semata-mata bwt pengembangan temporer aja.
Don't forget "The Departed", sebuah pilem 'plagiat' (pernah diposting di sini juga) yang justru menang Oscar!
2. Temanya kurang variatif
Agak senada dengan yang di atas, tema nggak selamanya sama, dan nggak selamanya tema yang terbatas berarti kisah yang tanpa makna. Toh di Hollywood sono, Cinta, Balas Dendam, dan Kerja Keras kerap jadi tema yang seakan tiada habis digali... Trus, kenapa kita (PILDUKAL) juga nggak boleh (mengeksplorasi tema)?
3. Teknologi katro, efeknya malah garing
So? Justru kalo nggak ada yang nonton lah maka teknologi PILDUKAL bakalan semakin katro! Coba, kalo nggak ada penonton, dari mana lagi penghasilan sineas-sineas lokal? Kalo nggak ada pemasukkan, mana bisa teknologi dan peralatan yang dipake bisa berkembang n lebih canggih? Yang ada, produk lokal malah mati, hilang, dan tak terkenang...
en akhirnya,
4. Dalam beberapa bulan berikutnya, pasti dapat langsung segera dinikmati di layar kaca...
yakin loh? Pilem yang katro sih boleh2 aja. Tapi, kayaknya setelah dipikir2, nggak mungkin segitunya lah. Kalo dilogis, emang PILDUKAL memiliki beberapa alasan rasionalnya sendiri yang membuatnya lebih cepat 'muncul' di layar kaca. (1) PILDUKAL berarti koneksi lokal dengan pihak-pihak berkepentingan dari pilem yang bersangkutan. Means, harusnya lebih 'gampang' ngurusnya dibanding ngurus ke 'luar-luar' segala. (2) Biaya pastinya lebih kecil dunks. (3) yang terpenting, nonton di tipi sama sekali berbeda dengan nonton di gedongan (Bioskop). Suasana jelas beda n banyak hal yang gak bisa dihadirkan oleh si kotak kaca!
Lihatlah,
setelah pemikiran lebih lanjut, pemikiran tentang PILDUKAL ini akhirnya mengubah vonis yang sebelumnya telah terjatuhkan. Hmmm, istilahnya, kasus PILDUKAL ini mengalami 'naik banding', dan akhirnya memperoleh keadilan yang semestinya...
PILDUKAL isn't as bad as it seems.
Sekarang, peraturan yang gw terapin dalam menghadapi hiburan layar lebar (Bioskop maksudnya, bukan layar tancep yaaa) hanya satu:
Gw mencari hiburan!!!
Siapapun (maksudnya pilem apapun) yang gw yakin bisa memberi kepuasan terbesar, dialah yang menjadi pemenang hatiku...
By the end, mekanisme pemilihan dan seleksi dari para konsumen itu mutlak perlu. Cuma dengan seleksi atas kualitas dan penampilanlah, maka para sineas bisa meningkatkan performa mereka.
Mereka yang bermutu akan bertahan, dan mereka yang di bawah standar akan sirna...
Semoga...
Penikmat Film
No comments:
Post a Comment